Masa depan toleransi di Indonesia kini terancam.
Kerukunan umat beragama masih terus menimbulkan bau yang tidak sedap.
Ini karena bibit-bibit radikalisme itu ternyata
bercokol di lembaga-lembaga yang notabene sangat strategis: sekolah. Fakta ini
bisa kita saksikan pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip)
beberapa waktu lalu.
Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) di 10 kota di Jabodetabek dan pada saat bersamaan juga mengadakan survei
terhadap 993 siswa beragama Islam di SMP dan SMA negeri/swasta di tempat guru
PAI tersebut mengajar. Hasil survei itu menyebutkan tingkat dukungan responden,
baik guru PAI maupun siswa, terhadap aksi kekerasan cukup tinggi.
Hampir tiga dari 10 responden guru PAI dan hampir
lima dari 10 responden siswa menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang
memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu
agama. Bahkan beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan
mengatasnamakan agama.
Jika dianalisis, terdapat dua hal yang
melatarbelakangi kenapa mereka memiliki sikap seperti itu. Pertama, kurang
adanya pendidikan toleransi di sekolah.
Kedua, pendidikan keagamaan yang dilaksanakan saat
ini lebih cenderung kepada doktrin dan simbol, kurang mengakomodasi substansi
agama itu sendiri dalam perspektif yang universal. Dengan kata lain, pendidikan
agama yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini masih gagal.
Brenda Watson dalam Education and Belief (1987)
pernah mengatakan ada tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya pembelajaran
agama di sekolah-sekolah.
Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru
lebih mengarah kepada proses indoktrinasi (indoctrination process) sehingga
pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak
terbantahkan. Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat
normatif-informatif. Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut
oleh sang guru.
Ketiga penyebab di atas—disadari atau tidak—telah
membuat pola pikir anak didik kurang terbuka. Pembelajaran yang normatif
disusul dengan doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat membuat cara
pikir satu arah sehingga mereka (anak didik) tidak mau menerima masukan, dan
bahkan perbedaan. Sebagai dampaknya, mereka pun akan menyetujui atau membenarkan
aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya.
Pendidikan
Toleransi
Itulah sebabnya pendidikan toleransi menjadi
agenda mendesak saat ini. Para siswa atau anak didik harus dijarkan tentang
pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan melestarikan
keberagaman dalam (hidup) kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini, yakni
dari sekolah.
Sekolah menjadi lembaga publik yang (sangat) tepat
untuk menjelaskan apa makna dan pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa
antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir sekaligus pola interaksi anak
yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk.
Sekolah dengan demikian menjadi “ruang strategis”
untuk membentuk mental atau bagi tumbuhnya watak keberagaman yang kuat.
Dalam praktiknya, pendidikan toleransi ini tidak
hanya dapat digerakkan oleh guru, tapi juga pengelola sekolah dengan cara
memanfaatkan segala fasilitas dan media yang ada—seperti dinding sekolah—untuk
ditempel gambar berbagai tempat ibadah semua agama di Indonesia, pakaian adat,
rumah adat, kesenian daerah, serta simbol-simbol keberagaman lain yang
merupakan kekayaan negeri.
Hal ini amat penting karena mengenalkan beragam
perbedaan dengan mengembangkan sikap toleransi “melalui gambar” bisa lebih
cepat ditangkap (mengena) oleh seorang anak.
Ini karena nilai-nilai menghargai dan menghormati
perbedaan itu pada gilirannya akan teresap dalam jiwa dan batin anak ketika
nanti mereka tumbuh dewasa. Mereka pun akan tumbuh menjadi insan-insan yang
memiliki pola pikir inklusif dan toleran.
Tentu saja selain di sekolah, tiga ranah yang
berperan penting untuk mengajarkan pendidikan toleransi adalah lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Pada lingkungan
keluarga, seorang ayah dan ibu tentu memiliki peranan penting.
Setiap orang tua harus sebisa mungkin mengenalkan
anak kesayangannya pada perbedaan-perbedaan sekitar dan mengajak mereka untuk
terbiasa menghormati kepada sesama meskipun berbeda agama, ras, suku, dan
golongan.
Sementara dalam konteks lingkungan masyarakat,
para tokoh masyarakat dan ulama sekitar harus mengajak dan terus berupaya
menciptakan sistem kehidupan yang rukun. Caranya adalah mereka—tokoh mayarakat
dan ulama setempat—harus memberikan teladan tentang perilaku toleran.
Adapun dalam konteks lingkungan negara, pemerintah
berkewajiban membuat kebijakan-kebijakan setrategis yang mendukung tumbuh
suburnya pendidikan toleransi. Ini karena sejatinya, pendidikan toleransi itu
menyatu dengan keberadaan negara dan sejalan dengan garis yang telah ditetapkan
konstitusi. Negara mutlak menciptakan sekaligus merawat tatanan hidup yang
toleran.
Pungkas kata, mari kita ciptakan masa depan
toleransi yang lebih baik. Jangan biarkan pendidikan toleransi di negeri ini
terus tersandera
Ali
Rif’an
Peneliti
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
SINAR
HARAPAN , 05 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi