“Kiamat” Mapel Bahasa Jawa


Dalam waktu sebulan terakhir ini guru Bahasa Jawa di Jateng meninggi intensitasnya dalam berkomunikasi, baik melalui pesan singkat, telepon, maupun jejaring sosial di internet. Mereka resah oleh informasi tidak dicantumkannya mata pelajaran Bahasa Jawa dalam draf perubahan kurikulum 2013. Ada sinyalemen mereka bakal kehilangan kesempatan mengajar atau harus alih tugas mengampu mata pelajaran lain.

Memang, belum ada titik final ketidakpastian Bahasa Jawa pasti berakhir pada tahun pelajaran baru 2013, dan kondisi itu justru mengeskalasi keresahan. Mengingat urgensi pembelajaran Bahasa Jawa adalah sebagai salah satu cara melestarikan, sewajarnya Kemendikbud meninjau ulang draf perubahan kurikulum tersebut.

Setidak-tidaknya mempertimbangkan kembali risiko yang bakal terjadi. Seperti pada regulasi yang mewajibkan guru mengajar 24 jam per minggu belum lama ini, banyak guru harus beralih ke mata pelajaran lain. Jika demikian status profesional akan makin dipertanyakan.

Jika draf kurikulum itu benar-benar menghapus Bahasa Jawa (muatan lokal), itu sama saja artinya dengan ''kiamat'' Bahasa Jawa. Kemendikbud seolah-olah tidak memberikan kesempatan hidup dan perkembangan bahasa itu melalui jalur pendidikan.

Ironisnya, dalam draf perubahan ada mata pelajaran baru (Prakarya) dengan alokasi waktu 4 jam per minggu. Hal itu dimungkinkan untuk menampung (kelompok) muatan lokal, termasuk Bahasa Jawa.

Padahal, permasalahan, dan tantangan tiap sekolah berbeda-beda. Pada konsep KTSP guru dan sekolah mendapat kebebasan mengelola kurikulum pengembangan dari standar isi. Dalam pengembangan tersebut masih dibatasi adanya muatan lokal yang wajib dilaksanakan.
Di Jawa Tengah, Bahasa Jawa merupakan muatan lokal wajib yang harus dilaksanakan oleh tiap satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah. Haruskan kebijakan yang sudah baik itu dihapuskan? Atau Bahasa Jawa melebur dalam mapel Prakarya, atau gabungan dari beberapa muatan lokal yang menjadi satu?

Ada Keberpihakan

Jika demikian maka akan ada lebih dari 1 guru Prakarya. Hal ini masih menyisakan masalah berupa jumlah jam mengajar guru, proses penilaian, dan target pencapaian kurikulum. Kemendikbud tinggal memiliki waktu satu semester untuk melakukan peninjauan ulang draf tersebut, terkecuali kurikulum 2013 diberlakukan pada waktu lain.

Dalam waktu itu pula semestinya disegerakan koordinasi antara pemerintah pusat dan provinsi untuk mengambil kata mufakat atas permasalahan tersebut. Tidak bisa dimungkiri, dalam pelajaran itu siswa mendapat materi unggah-ungguh untuk menunjukkan status strata sosial kemasyarakatan dalam berkomunikasi.

Dengan unggah-ungguh itu antarpenutur saling menjaga kenyamanan hati agar tidak terjadi ketersinggungan. Melalui unggah-ungguh itu siswa mengenal budi pekerti, empati, dan pengendalian diri dari berucap dan bersikap yang tidak baik. Nilai-nilai itu kini boleh dikatakan menipis karena berbagai faktor.

Pemprov Jateng beberapa waktu lalu juga telah melakukan upaya hukum melalui Perda Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penyelamatan dan Pelestarian Bahasa, Budaya, dan Aksara Jawa. Selain itu, keputusan Gubernur mengenai kurikulum Bahasa Jawa juga telah diselaraskan dari keputusan Gubernur tahun 2005, menjadi 2010.

Bahkan dalam sebulan terakhir, Dinas Pendidikan Provinsi Jateng telah merumuskan
rekomendasi atas evaluasi dan rancangan kurikulum Bahasa Jawa 2013. Ada dua pertanyaan  dari peristiwa ini, pertama; benarkah Bahasa Jawa tidak akan diajarkan lagi, lalu untuk apa merencanakaan revisi kurikulum baru?

Kedua; Pemprov akan dan telah me-nempuh langkah apa guna menanggapi regulasi kurikulum nasional? Penulis yakin masih ada keberpihakan dari berbagai lembaga ataupun elemen masyarakat untuk ikut mempertahankan mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah.

Eko Wahyudi ; 
Guru Bahasa Jawa SMP 1 Kecamatan Karangsambung, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa Kabupaten Kebumen
SUARA MERDEKA, 18 Desember 2012



Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi