ANAK muda (usia 10-29 tahun sesuai dengan WHO 2002)
itu seperti magma. Maksudnya, magma yang dikandung di perut bumi bisa
membahayakan nyawa makhluk hidup jika sebuah gunung memuntahkannya dan
menghujani mereka yang ada di sekitar gunung berapi tersebut. Magma yang sama
juga bisa memberikan manfaat yang besar bagi kesuburan tanah. Ilustrasi bencana
dan manfaat yang berasal dari magma itu melukiskan kekuatan besar yang dimiliki
oleh pemuda--ia mengandung faedah dan juga bahaya.
Dikatakan faedah memang benar kenyataannya seperti
itu. Masih ingat dengan peristiwa reformasi 1998 di Jakarta? Hampir semua orang
yang berani protes damai di jalan-jalan, termasuk mereka yang menduduki Gedung
MPR/ DPR, menentang rezim otoriter menguasai Indonesia kembali, ialah anak-anak
muda. Potret sejarah itu baru sebagian kecil yang membuktikan anak muda
memberikan kontribusi positif dalam membangun bangsa Indonesia yang lebih baik.
Kegiatan-kegiatan positif pemuda yang tidak terekam kamera televisi tak
terhitung jumlahnya.
Sebaliknya, kekuatan anak muda juga bisa berujung
pada bahaya. Siapa yang paling sering terlibat tawuran (apa pun macamnya)?
Siapa yang paling emosional ketika tersenggol oleh goyangan orang lain di arena
konser dangdut dan kemudian memicu baku pukul? Siapa yang direkrut kelompok
teroris? Semua jari akan menunjuk kepada pemuda. Anak muda itu tidak lebih dari
pembuat onar, seseorang yang gampang emosional, seseorang yang punya nyali,
atau seseorang yang mudah diperdayai karena idealismenya yang tinggi dan energinya
yang besar.
Hasil temuan riset kerja sama UNDP, Bappenas, PSKP
UGM, Labsosio UI, dan LIPI (2005) menunjukkan 40% dari kekerasan kelompok di
Indonesia yang berakhir dengan kematian sejak 1990 dipicu insiden perkelahian
antarpemuda. Informasi penting lainnya juga menyebutkan mereka yang menjadi
pelaku bom bunuh diri dalam tindakan terorisme ialah terutama anak-anak muda
yang punya nyali, berpendidikan, dan dari latar belakang keluarga
bermacam-macam, termasuk keluarga yang `normal'. Dalam sejarah terorisme di
Indonesia, tidak ada pelaku bom bunuh diri seorang tua renta; selalu anak muda.
Kekuatan Dahsyat
Begitu dahsyatnya kekuatan anak muda, baik positif
maupun negatif, telah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejauh
ini. Kedua sisi kekuatan itu telah samasama kita saksikan dampaknya dan yang
demikian itu menjadi sesuatu yang perlu kita pikirkan bersama apa jadinya
negeri ini di tangan kekuatan anak-anak muda yang mendukung kekerasan daripada
perdamaian. Oleh karenanya, tak ada jalan lain selain sebaikbaiknya
memberdayakan akal dan energi mereka melalui pendidikan perdamaian positif demi
membangun Indonesia yang damai.
Yang dimaksud dengan pendidikan perdamaian positif
ialah pendidikan formal tingkat dasar dan menengah yang mengacu pada perdamaian
positif--artinya, situasi masyarakat yang menggambarkan ketiadaan kekerasan
(fisik/langsung, struktural, dan kultural). Pendidikan perdamaian positif
menjadi penting dan mendesak mengingat Indonesia di level makro ialah
masyarakat majemuk yang merupakan lahan subur menumbuhkan konflik kekerasan.
Sementara itu, di level mikro, anak muda sangat mudah dimobilisasi oleh
pihakpihak lain yang memancing di dalam air keruh.
Menurut Betty Reardon, pakar pendidikan perdamaian
dari AS, tujuan utama dari pendidikan perdamaian (positif ) ialah to strengthen
the capacity to care, to develop a sincere concern for those who suffer because
of the problems, and a commitment to resolving them through action--artinya,
memperkuat kapasitas personal untuk peduli terhadap orang lain, mengembangkan
rasa perhatian yang sungguh-sungguh kepada mereka yang menderita mereka yang
menderita akibat masalah yang mereka hadapi, dan memperkuat komitmen untuk
menyelesaikan masalah tersebut melalui aksi nyata. Dengan kata lain, pendidikan
perdamaian bertujuan menumbuhkan kesadaran baru yang termanifestasi ke dalam
aksi damai yang nyata.
Reardon menyebutkan ada tiga macam kurikulum
pendidikan perdamaian positif yang bisa dikembangkan: (1) pendidikan
lingkungan, (2) pendidikan pembangunan, dan (3) pendidikan HAM. Contoh beberapa
pengalaman pendidikan perdamaian positif di AS yang merujuk ke kurikulum
tersebut ialah pendidikan internasional (studi kawasan dan pendidikan
multikultural) dan pendidikan global. Bagaimana mengimplementasikan kurikulum
tersebut? Kurikulum pendidikan perdamaian bisa diterapkan dengan cara, antara
lain, membuat kurikulum/mata pelajaran baru yang fokusnya khusus pada
perdamaian positif, mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian positif ke dalam
mata pelajaran yang sudah ada, membuat kegiatan ekstrakurikuler berbasis pada
perdamaian positif, dan mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian positif ke
dalam EBET a budaya sekolah.
Menengok pengalaman pendidikan perdamaian positif di
1) Indonesia, sejumlah sekolah ) di Tanah Air--baik dirancang dengan sengaja
maupun tidak--telah mengaplikasikan pendiidikan perdamaian positif. Ada di
sekolah-sekolah yang menjadi kan multikulturalisme ke dalam kurikulum muatan
lokal. Ada juga sekolah-sekolah yang mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian ke
dalam mata pelajaran kewarganegaraan, pendidikan agama, matematika, dan mata
pelajaran lainnya.
Beberapa sekolah telah membangun perdamaian melalui
budaya sekolah, misalnya budaya no violence. Maksudnya, semua warga sekolah
menyepakati dan men jalankan prinsip nirkekerasan di lingkungan sekolah,
seperti menghindari tawuran antar pelajar, perundungan (bullying), dan hukuman
fisik.
Secara umum, pendidikan perda pendidikan perda maian
positif sudah dijalankan di Indonesia dengan berbagai macam implementasinya
seperti yang telah disebutkan. Meskipun demikian, persoalan yang menyangkut
perdamaian di level sekolah masih terjadi dan itu menjadi tantangan tersendiri
bagi kita semua. Sebagian tantangan tersebut ditunjukkan di dalam laporan WHO
2002 World Report on Violence and Health. Di situ disebutkan bahwa tawuran
antarpelajar, perundungan (bullying), dan membawa senjata ialah
perilaku-perilaku anak muda yang berisiko menimbulkan kekerasan. Di samping
itu, berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2007,
misalnya, disebutkan bahwa dari 555 kasus kekerasan yang menimpa anak, 18%
pelakunya ialah orang terdekat dan 11,8% ialah guru (Vivanews, 24 Oktober
2008).
Pendekatan
Alternatif
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan
mempertajam pendidikan perdamaian positif yang sudah dijalankan oleh
sekolah-sekolah di Indonesia, pendekatan alternatif yang lebih sistematis yang
bisa diuji coba ialah pendidikan perdamaian positif yang bersandar pada
pendekatan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) dengan lima pilarnya: (1)
budaya sekolah, (2) kurikulum yang damai, (3) kelas yang damai, (4) mediasi
sejawat, dan (5) partisipasi masyarakat.
Pertama, warga sekolah perlu menyepakati nilai,
norma, dan kebiasaan prososial macam apa yang hendak ditanamkan di sekolah.
Supaya budaya sekolah itu terpelihara dengan baik, semua pihak perlu membuat
slogan, menyusun tata tertib, merancang mekanisme penghargaan dan sanksi,
merayakan keberhasilan sekolah dalam menjalankan budaya damai, dan lain-lain
yang konsisten dengan budaya perdamaian yang dipilih.
Kedua, mengintegrasikan nilai-nilai yang
berorientasi ke perdamaian (pemecahan masalah, toleran, menghargai keragaman,
dan seterusnya) ke dalam kurikulum sekolah menjadi cara alternatif yang dapat
sekolah tempuh. Nilai-nilai tersebut dikolaborasikan ke dalam unsur-unsur
kurikulum: tujuan, materi, dan strategi pembelajaran serta sistem evaluasi.
Ketiga, kelas yang damai mempunyai lima ciri utama,
yaitu kerja sama, komunikasi, ekspresi emosional, apresiasi terhadap perbedaan,
dan resolusi konfl ik. Guru yang mampu merangsang kreativitas murid dalam
berpikir, berkarya, dan berinteraksi membuat suasana kelas akan menyenangkan
dan sebaliknya.
Keempat, murid secara aktif mempraktikkan
keterampilan mediasi sejawat. Pengetahuan dan keterampilan mediasi bisa juga
dilembagakan di sekolah, contohnya melalui kegiatan ekstrakurikuler dan
pelatihan rutin untuk seluruh warga sekolah. Manfaatnya, antara lain, guru fokus
dengan urusan mengajar, sedangkan murid menjadi lebih mandiri dan bertanggung
jawab dalam menyelesaikan konfliknya sendiri.
Kelima, masyarakat memiliki peran sentral dalam
memastikan anak-anak tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Masyarakat
bekerja sama untuk memastikan lingkungan sekitar sekolah bebas dari kekerasan,
seperti tindak kejahatan dan mabukmabukan. Contoh upaya lainnya ialah anggota
masyarakat atau orangtua bersedia menjadi narasumber di kelas membicarakan
topik-topik yang relevan dengan pekerjaan dan pengalaman mereka.
Kesimpulannya, pendidikan ialah a slow but powerful
force, kata senator AS J William Fulbright. Semangat pendidikan yang sejati itu
tecermin dalam pendidikan perdamaian positif. Jika Indonesia bermimpi menjadi
pemimpin dunia yang peduli perdamaian, sudah saatnya Indonesia mengadopsi
pendidikan perdamaian positif sepenuhnya.
Titik Firawati
;
Staf Pengajar di
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM
MEDIA INDONESIA,
17 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi