SEJARAH pendidikan nasional kita akan
mencatat tahun 2013 ini sebagai tahun kode etik guru. Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia bertekad
menjalankan kode etik profesi mulai 2013 ini. Mengikat diri dalam kode etik
merupakan salah satu ciri profesionalitas.
Harus diakui, PGRI bukan satu-satunya
organisasi guru di Indonesia. Di luar PGRI, masih terdapat belasan bahkan
puluhan organisasi guru. Sebut saja, Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Serikat
Guru Seluruh Indonesia (SGSI), dan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI).
Meski terdapat banyak organisasi guru,
belum ada satu pun yang sudah menjalankan kode etik profesi. Jadi, kalau PGRI
memulai menjalankan kode etik profesi pada 2013 ini, nama mereka pasti akan
tercatat dalam sejarah pendidikan nasional kita.
Kewajiban
Undang-Undang
Apakah dijalankannya kode etik profesi
oleh PGRI itu mendapat dukungan pemerintah? Setahu saya, PGRI tidak pernah
''merengek-rengek'' minta dukungan pemerintah. Sebab, menjalankan kode etik
bagi anggota menjadi hak PGRI itu sendiri. Namun, saya percaya, sebagai
organisasi yang santun, PGRI tentu sudah berkoordinasi dengan pemerintah dalam
menjalankan kode etik bagi anggotanya.
Di luar itu, menjalankan kode etik
sejalan dengan ketentuan perundangan, yaitu UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen. Dalam pasal 43 ayat (1) dinyatakan, untuk menjaga dan meningkatkan
kehormatan serta martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan,
organisasi profesi guru membentuk kode etik (profesi). Dalam ayat (2)
dinyatakan, kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam
pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Kode Etik Guru Indonesia yang dibentuk PGRI
terdiri atas 6 bagian dan 11 pasal
(www.pgri.or.id/kode-etik/organisasi/kode-etik/kode-etik-guru-indonesia). Kode
etik itu secara keseluruhan mengatur hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan guru untuk menjaga keprofesionalan dalam menjalankan tugas
profesinya.
Di dalam Kode Etik Guru Indonesia,
diatur jelas bagaimana seharusnya hubungan yang harus dilakukan guru dengan
tujuh unsur yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan profesi
mereka. Adapun tujuh hubungan yang dimaksud itu adalah hubungan guru dengan (1)
peserta didik, (2) orang tua atau wali murid, (3) masyarakat, (4) sekolah dan
rekan sejawat, (5) profesi, (6) organisasi profesinya, dan (7) pemerintah.
Asumsinya, bila setiap guru bisa menjaga
hubungan dengan tujuh unsur tersebut secara profesional, keprofesionalan guru
bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan.
Ambil contoh hubungan dengan peserta
didik pada pasal 6 ayat (1) butir d yang menyebutkan, guru menghimpun informasi
tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
Seandainya guru menjalankan ketentuan
tersebut, hasilnya akan optimal. Yakni, guru mencari informasi mengenai
kemampuan dasar masing-masing peserta didik untuk menerima pembelajaran, siapa
saja yang kemampuannya rendah, kemampuannya sedang, dan kemampuannya tinggi.
Selanjutnya, memberikan pelayanan pembelajaran yang proporsional menurut
kemampuan dasar siswa.
Kualitas
Pendidikan
Bahwa dijalankannya Kode Etik Guru
Indonesia untuk menjaga keprofesionalan guru kiranya tidak terbantahkan. Hal
itu sama dengan dijalankannya Kode Etik Advokat Indonesia untuk menjaga
keprofesionalan pengacara, Kode Etik Kedokteran Indonesia untuk menjaga keprofesionalan
dokter, dan sebagainya.
Jumlah guru di Indonesia sekarang
mencapai 2,9 juta orang. Kalau mereka mau menjalankan kode etik,
keprofesionalan guru akan terjaga yang ujung-ujungnya mampu meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Sama halnya dengan dokter yang keprofesionalannya
terjaga dan bisa meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat secara nasional.
Peningkatan kualitas pendidikan sudah
tentu tidak bisa terjadi secara instan. Sebab, menjalankan kode etik guru juga
tidak bisa secara ''cepat saji''. Namun, perlu dimulai dari tahap sosialisasi
yang juga memerlukan waktu tidak pendek. Mengingat, sebagian guru di Indonesia
tinggal di daerah ''remote'' (pelosok) dengan teknologi informasi yang belum
memadai.
Kualitas pendidikan bukan hanya tanggung
jawab PGRI, tapi tanggung jawab kita semua. Artinya, sebenarnya keberhasilan
dijalankannya kode etik guru bukan menjadi tanggung jawab PGRI saja, tapi
tanggung jawab kita semua. Salah satu peran intinya ada pada guru.
Ki
Supriyoko ;
Guru
besar, Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang
bermarkas di Tokyo, Jepang
JAWA
POS, 02 Januari 2013
Artikel Terkait:
Guru
- VIP-kan Guru-guru Kita!
- Hegemoni Politik Guru
- Konvensi (Setelah) Penghapusan UN
- Demoralisasi Pendidikan Lewat UN
- Saatnya Perubahan Paradigmatik Guru
- Kurikulum 2013 : Gaduh atau Heboh Sastra?
- Menajuk Kurikulum 3.1
- Tantangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia
- Yang Dinanti Guru
- Cerobohnya Pendidik Kami
- Membenahi Calon Guru
- Guru Masih Terbelit dengan Persoalan
- Guru Terbaik
- Guru Berkarakter Laut
- Guru dan Mutu Pendidikan
- Sarmili dan Guru Inspiratif
- Guru Generasi Baru
- Memaknai Kebebasan Guru
- Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
- Guru di Negeri Nihil Pemimpin
- Guru Bukan Profesi Sampah
- Wajah Guru dalam Tarikan Kepentingan (Survei Pendidikan)
- Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita
- Silabi Bukan Robotisasi Guru (Dua Perkara Kurikulum 2013 bag 2)
- Saatnya Guru Bersuara Lantang
JAWA POS
- Anies Baswedan Jawab Pro Kontra Kurikulum 2013
- Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”
- Membenahi Calon Guru
- Menyemangati Start Kurikulum 2013
- PTN Masih Bermoral
- PTN Jer Basuki Wani Pira
- Soal Ijazah Doktor Diteken Sendiri
- Pancasila, Trauma tapi Rindu
- Unas, Gejala Sekolahisme Kronis
- Mundur-Tak Mundur Mendikbud
- Curhat Unas Siswa SMA
- Momentum Mengevaluasi Unas
- Akal Tak Sehat Tunda Unas
- Bisnis Kecemasan Unas
- Unas Tiba, Bergembiralah
- Menagih Janji Intelektual
- Murid Hamil dan Solusi Sekolah Pasutri
- Reka Duga Anggaran Kurikulum 2013
- Gejala Inden Sekolah dan Best Process
- Marifat Budi Pekerti Ki Hadjar
- Mahasiswa Baru Pertaruhan PTN
- Aneh, Unas di Tengah Jalan
- Kurikulum Baru tanpa Galau
- Spirit Internasional tanpa RSBI
- Menimbang Studi di Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi