Sampai
hari ini, pendidikan masih dipercaya sebagai medium strategis untuk mengenalkan
diri dan menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan kepada anak. Namun, tak dapat
disangkal, beragam masalah yang saling berkaitkelindan satu sama lain masih
mendera di lembaga-lembaga pendidikan kita. Pada kenyataannya, lembaga
pendidikan kurang memfasilitasi anak dalam melatih diri untuk berbuat sesuatu
sesuai nilai-nilai moral.
Implikasinya,
proses pendewasaan diri bagi anak tidak berlangsung secara baik, semultan dan berkesinambungan.
Tak jarang, proses tersebut justru membelenggu dan memangkas perkembangan
kepribadian anak. Sinyal ini telah didengungkan oleh Azyumardi Azra (2002)
bahwa lembaga pendidikan telah gagal dalam membentuk anak bangsa hingga
memiliki akhlak, moral dan budi pekerti.
Faktanya
jelas banyak anak bangsa mengalami demoralisasi perilaku. Nilai-nilai moral
kemanusiaan dialpakan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Tidak
mengherankan, jika kenakalan anak/remaja, pergaulan bebas, ketidakjujuran, rendahnya
belas kasih dan solidaritas, hilangnya budaya sopan santun dan rasa hormat,
makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak anak usia sekolah terlibat kasus
kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar, kriminalitas dan aksi-aksi anarkis
lainnya.
Tak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmad H (2010) bahwa 67,9
persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja usia sekolah, 8 di
antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang. Sedangkan 32 persen
remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia sudah terlibat hubungan
seks di luar nikah.
Kenyataan
ini mengindikasikan bahwa lembaga pendidikan belum berhasil mewujudkan
cita-cita idealnya. Beberapa hal yang menjadi pemicu kegagalan lembaga
pendidikan adalah beban kurikulum terlalu berat dan lebih banyak diorientasikan
pada pengembangan ranah kognitif (kepekaan intelektual). Padahal, untuk menjadi
manusia seutuhnya sesuai tujuan pendidikan adalah terintegrasinya nilai-nilai
moral yang termanifestasi ke dalam kepekaan intelektualitas, emosionalitas dan
spiritualitas kepribadian anak. Selain itu, model pembelajaran yang berjalan
sampai hari ini lebih mengutamakan alih pengetahuan moral (transfer of moral
knowledge).
Dengan
paradigma ini, pendidik lebih menekankan pada penguasaan materi dalam kurikulum
dan lebih mementingkan daya serap atau hafalan (memorisasi) dari anak. Praktik
ini tergambar jelas dalam model soal ujian atau test-test tertentu. Akibat
jangka panjang yang tidak dirasakan secara langsung adalah bahwa pendidikan
moral dan akhlak terlalu banyak berorientasi pada intelektualisme etis.
Padahal, paradigma pembelajaran moral (humanities) semestinya tidaklah seperti
pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis
intelektual. Paradigma pembelajaran moral menghendaki adanya pola-pola
internalisasi nilai melalui pembiasaan dan keteladanan.
Pada
saat yang sama, anak kerap dihadapkan pada nilai-nilai yang sering bertentangan
antara sikap dan perilaku guru dengan apa yang dipikirkannya. Sehingga, anak
akan mengalami kesulitan dalam mencari sosok keteladanan. Di sinilah akar
kegagalan sistem pendidikan tersebut, sehingga output yang dihasilkan miskin
moralitas. Nilai-nilai kemanusiaan terkubur dalam hafalan dan tak
terejawantahkan menjadi perilaku anak di lingkungan sosialnya. Menjadi problem
serius ketika sekolah sudah tidak lagi mampu melahirkan tunas-tunas muda yang
bermoral dan berperilaku sesuai nilai-nilai luhur kamanusiaan.
Peran Keluarga
Kini
kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga pendidikan tidak lagi
kondusif bagi penanaman nilai-nilai moral bagi anak, maka keluarga harus
cepat-cepat mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika
sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa ekses yang luar biasa
bagi anak. Oleh karena itu, keluarga adalah agen untuk mencipakan kondisi yang
ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, kebiasaan dan perilaku anak dalam
kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat. Anak harus diposisikan sebagai
subjek utama pendidikan dalam keluarga.
Kegiatan
pembelajaran dalam keluarga harus dimulai dari apa yang telah diketahui oleh
anak. Di sini, orangtua berperan sebagai fasilitator dalam proses penanaman
nilai-nilai moral kemanusiaan melalui interaksi dengan anak dalam kehidupan
sehari-hari. Peran orangtua hanya sebagai perancang dan pengelola, sehingga
tidak boleh melakukan indoktrinasi terhadap anak. Sebagai fasilitator, orangtua
dalam keluarga harus memiliki pribadi yang berkarakter dan mampu memberikan
keteladanan. Di sinilah orangtua berperan sebagai teladan dalam memberikan
contoh yang baik bagi anak. Keteladanan harus dipelihara dengan menjaga
komitmennya untuk selalu bersikap dan berperilaku serta mewujudkan nilai-nilai
moral dalam kehidupan keluarga.
Orangtua
juga harus mencegah berlakunya nilai-nilai buruk. Tak kalah penting adalah
pemberian perhatian dan penghargaan ketika anak melakukan kebaikan. Semua ini
harus menjadi pola dan kebiasaan berperilaku dalam keluarga yang dilakukan
secara konsisten dan terus-menerus. Upaya ini diharapkan membentuk kepribadian
anak yang bermoral, sehingga mampu menjalankan perbuatan utama.
Pribadi
yang bermoral adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya
sesuai dengan nilai-nilai moral kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut menjadi
standar kualitas kebaikan, kebajikan dan moral yang mendasari perilaku,
pengambilan keputusan dan kepedulian anak. Akhirnya, nilai-nilai moral
kemanusiaan menjadi living values dalam kehidupan dan perilaku anak
sehari-hari.
Joko Wahyono
Pemerhati Sosial dan Masyarakat
di Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 08 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi