Karena kurang optimalnya Surat Edaran
Ditjen Dikti No 152/E/T/2012 yang mewajibkan doktor memublikasikan karya
ilmiah, tahun ini kewajiban tersebut akan diperketat. Strategi yang diambil Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) secara teknis juga menarik. Demi
meningkatkan kualitas jurnal ilmiah di Indonesia, Januari lalu, Dikti—bersama
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat ITB— meluncurkan Indeks Sitasi
Indonesia. Ke depan, diharapkan laman tersebut bisa menjadi basis data abstrak
dan sitasi dalam skala nasional.
Membangun jejaring yang mampu
mengakomodasi publikasi ilmiah dosen dan peneliti dalam negeri yang terpencar
tentu merupakan langkah baik. Namun, di saat bersamaan, sebagai redaktur
pelaksana jurnal ilmiah nasional, saya merasakan sendiri bagaimana budaya
menulis ilmiah—yang didukung kajian literatur yang serius, data yang kuat, dan
analisis yang mampu mengungkap bagaimana temuan akan bermanfaat bagi publik
yang lebih luas—amat langka.
Ditjen Dikti dan ITB sebagai pelaksana
teknis mengambil langkah progresif menggunakan perkembangan teknologi informasi
untuk mengatasi permasalahan minimnya publikasi ilmiah dalam negeri. Tetapi,
jika publikasi ilmiah yang berkualitas itu langka, apakah peningkatan jumlah
sitasi artikel akan menghasilkan peningkatan kualitas keilmuannya?
Ketimbang mengungkap permasalahan
struktural secara normatif, saya ingin menyampaikan bahwa minimnya publikasi
ilmiah ini adalah kelalaian bersama. Permasalahan struktural ini dengan
reflektif dijelaskan oleh para pengajar di Universitas Indonesia (Membangun di
Atas Puing Integritas, 2012).
Permasalahan ekonomi-politik sistem
pendidikan tinggi dalam negeri juga sudah menjadi pembahasan sejak 1990-an.
Masalah ini makin kompleks sekitar tahun 2000-an. Dengan status Badan Hukum
Milik Negara, di mana otonomi kampus dari segi keuangan ternyata tidak
berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.
Berbicara dalam konteks perguruan tinggi
negeri (PTN) tempat saya bekerja, banyak dosen yang tidak sempat menulis dan
berkarya karena dibebankan enam mata kuliah (18 SKS) per semester (setara
dengan 30-35 jam kerja per minggu) di luar memegang jabatan struktural (setara
dengan posisi manajer dalam perusahaan, juga 30-35 jam kerja per minggu). Hal
ini disebabkan perubahan status PTN yang memiliki implikasi sistem keuangan
yang mempersulit para pemimpin departemen memproyeksikan berapa jumlah dosen
baru yang perlu direkrut untuk mengatasi ketimpangan rasio dosen-mahasiswa.
Karena itu, yang diambil adalah
solusi-solusi jangka pendek yang amat pragmatis. Sebutlah pemberian beban kerja
berlebihan atau memberikan mata kuliah tidak sesuai keahlian akibat kurangnya
dosen tetap.
Perihal peningkatan kualitas akademik,
Dikti sebetulnya sudah berupaya mengembangkan kapasitas dosen dengan memberikan
beasiswa doktoral untuk menempuh studi di luar negeri. Namun, karena
permasalahan struktural tadi belum diatasi, ketika kembali ke Tanah Air para
dosen ini kembali diberi beban mengajar yang berat, yang mempersulit mereka
untuk berkarya.
Tidak ada peningkatan jumlah karya
ilmiah sejak beasiswa tersebut tersedia karena permasalahan kurangnya sumber
daya pengajar belum diatasi. Tak heran bila Indonesia tertinggal jauh
dibandingkan negara-negara dalam regional yang sama (Evers, 2003). Sebagai ilustrasi,
Singapura memiliki 94 jurnal internasional dan Malaysia memiliki 45 jurnal
internasional, sementara Indonesia hanya memiliki 12 jurnal internasional.
Memikirkan
Solusi
Dengan mempertimbangkan kenyataan
hambatan struktural, maka inisiatif Dikti melalui Indeks Sitasi Indonesia tidak
akan membuahkan hasil signifikan. Begitu pula langkah Dikti membatasi beasiswa
doktoral khusus untuk program studi yang menghasilkan publikasi di jurnal
internasional. Permasalahannya, setiap program studi tidak mampu membangun
lingkungan akademik yang sehat sehingga menghambat pengembangan kapasitas dosen
dan penelitinya.
Oleh karena itu, jika obyektif, untuk
meningkatkan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah, yang pertama harus
dilakukan bukan hanya menelurkan kebijakan dari atas, tapi juga identifikasi
masalah di bawah: memahami akarnya dari realitas keseharian para pengajar.
Sebagai ilustrasi, ada satu jurnal
internasional—yang tak jelas peninjau dan asal-usulnya—yang menawari dosen
”negara berkembang” memublikasi karyanya dengan biaya 1.000 dollar AS dengan
mengirim surat elektronik secara serentak. Solusi laissez-faire macam ini
muncul karena pihak-pihak tertentu mengidentifikasi adanya ”permintaan” yang
tidak dibarengi kemampuan pihak yang terlibat untuk memenuhinya. Jika Dikti tak
segera mengisi ruang vakum tersebut, kemungkinan solusi macam inilah yang akan
diambil, seperti dilakukan begitu banyak sektor lain di negara kita.
Oleh karena itu, yang pertama harus
dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada staf pengajar untuk membangun
budaya menulis akademik. Namun, karena peneliti senior dalam negeri yang
memiliki publikasi yang diakui kolega internasional amat langka, akan kurang
efektif jika pelatihan tersebut dijalankan secara in-house di tiap universitas. Konsekuensinya, pelatihan ini harus
melibatkan akademisi Indonesia yang juga pegawai di sejumlah institusi
pendidikan di negara seperti Australia, Belanda, dan Jepang, yang memiliki
basis kajian Indonesia yang kuat.
Program Scheme for Academic Mobility
2013 (SAME) yang mendanai kerja sama antara institusi pendidikan dalam dan luar
negeri bisa mengakomodasi pelatihan semacam ini. Jadi, sebetulnya pelatihan
bisa direalisasikan dan dana sudah dialokasikan Dikti. Masalahnya, apakah
setiap pihak yang terlibat mampu secara independen berjejaring untuk jadi
bagian dari solusi.
Inaya
Rakhmani ;
Pengajar
UI dan Kandidat Doktor
Asia
Research Centre, Murdoch University
KOMPAS,
25 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi