Tulisan Boediono di harian ini,
29 Agustus 2012, sangat menarik disimak.
Pertama, karena posisi penulisnya
Wakil Presiden RI yang (konon) juga pemimpin Komite Pendidikan sehingga besar
kemungkinan gagasan yang disampaikan tak berhenti semata dalam wacana. Kedua,
tulisan itu menyoal substansi pendidikan yang—menurut penulisnya, dan saya
sependapat—hingga kini belum jelas konsepsinya.
Namun, tulisan itu—biarpun
mengakui pendidikan sebagai kunci pembangunan — secara keseluruhan mengesankan
bahwa pembangunan ekonomi dan politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan
umum dan pendidikan khusus guna membekali murid soft skill dan hard skill
terasa simplistis. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi
Menteri Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi
pembangunan baru (Kompas, 23 Oktober 2003).
Perubahan fundamental, total, dan
gradual ke arah pemenuhan janji kemerdekaan sangat perlu. Hal itu akan terjadi
jika pendidikan diutamakan dalam pembangunan. Selama ini, dalam pembangunan
yang pro-pertumbuhan ekonomi dan kemapanan politik, pendidikan hanyalah
perifer. Akibatnya, aspirasi dan substansi pendidikan terbengkalai.
Secara filosofis, pendidikan
adalah upaya memenuhi aspirasi masyarakat pendukungnya. Pertama, aspirasi pragmatis.
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka mempertahankan dan mempermudah
kehidupan. Aspek terpentingnya, membekali generasi muda seperangkat kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Di sini, institusi pendidikan jadi wahana
pemberdayaan dan mobilitas sosial untuk keselamatan dan kesejahteraan.
Kedua, aspirasi nasionalistik.
Melalui pendidikan, sebuah bangsa/negara menggalang ketahanan nasionalnya.
Identitas dan spirit kebangsaan ditanamkan lewat berbagai kegiatan dengan
harapan murid jadi warga negara yang baik. Di sini, proses pendidikan merupakan
upaya membangun watak bangsa.
Ketiga, aspirasi kulturalistik.
Pendidikan dijadikan jalan transmisi dan transformasi budaya yang bertujuan tak
sebatas bertahan hidup atau jadi warga negara yang baik—karena humanitas kita
bukan sekadar eksis—tetapi juga berkebudayaan. Ide kebudayaan, menurut Daoed
Joesoef, menetapkan supremasi manusia di atas kewargaan atau citizenship
(Kompas, 17 April 2012). Maka, pendidikan sering disebut upaya memanusiakan
manusia: menjadikan manusia seutuhnya, insan kamil: manusia yang baik.
Upaya menyelaraskan sistem
pendidikan/persekolahan dengan aspirasi bangsa semestinya telah dilakukan sejak
awal kemerdekaan. Sayangnya, menurut Beeby (1975), hal itu tak terjadi.
Pendidikan kita jadi penuh anomali. Daoed Joesoef sewaktu jadi Mendikbud hendak
menormalkannya lewat konsep normalisasi kehidupan kampus (NKK), tetapi gagal.
Lima
Masalah Pendidikan
Kaburnya substansi pendidikan
merupakan bagian dari akumulasi problem berlarut-larut yang kini perlu
penyelesaian secara tepat. Pertama, masalah fundamental yang mencakup alasan
dasar dan arah pendidikan. Kita memiliki tujuan negara, dasar negara, dan
tujuan pendidikan nasional sebagai landasan normatif pendidikan. Persoalannya
bagaimana perangkat-perangkat normatif itu diobyektivikasi jadi panduan operasional
pendidikan dalam konteks ruang-waktu.
Misalnya, soal kesejahteraan.
Bukankah negeri ini mengaku sebagai negara agraris. Lebih 60 persen rakyatnya
hidup dari pertanian, dan 80 persen di antaranya miskin. Kita memiliki sekolah
menengah, fakultas/jurusan/program studi hingga institut pertanian. Namun,
pertanian tak mengalami kemajuan berarti dan tak jadi basis perekonomian
bangsa. Lebih ironis lagi, mayoritas petani menyekolahkan anaknya ke level
tinggi agar tak jadi petani seperti orangtuanya.
Juga soal kebudayaan. Takdir
pluralitas kita—melalui pendidikan—seharusnya dijadikan kekuatan konstruktif,
bukan sebaliknya. Maraknya konflik belakangan adalah pertanda kendurnya ikatan
operasional pendidikan dengan realitas kebangsaan kita. Oleh karena itu, konkretisasi
korelasi antara strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan dengan arah
pendidikan nasional penting dilakukan.
Kedua, masalah struktural atau
politik pendidikan. Kekacauan pendidikan kita kebanyakan bersumber dari cara
pemerintah menjalankan politik pendidikan. Kebijakan pendidikan sering tak
berbasis pengetahuan: coba-coba tanpa studi, teori, dan pengalaman. Respons
pemerintah terhadap perkembangan acap kali reaktif dan program-program disusun
sebagai proyek koruptif. Alhasil, pendidikan secara operasional tak punya
efektivitas, relevansi, dan signifikansi terhadap kemajuan.
Ketiga, masalah operasional. Apa
yang seyogianya diajarkan agar manusia Indonesia berkontribusi maksimal bagi
kemajuan berada pada wilayah ini. Masalahnya, praktik pendidikan kita sering
kali dimasuki bermacam kepentingan non-pencerdasan. Banyak kompetensi dan
materi masuk kurikulum tanpa dikaji relevansi dan signifikansinya dengan
filosofi dan situasi kita sendiri. Raibnya Pendidikan Moral Pancasila, masuknya
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, dan saratnya kurikulum adalah akibat
politik menggampangkan pendidikan. Sikap itu pula yang melahirkan sertifikasi
portofolio guru dan ujian nasional (UN).
Kualitas pendidikan sangat
bergantung pada pengoperasian sistem, dan ditentukan politik pendidikan. Komite
Pendidikan yang dipimpin Wapres sebaiknya jadi brain-trust untuk atasi masalah
ini.
Keempat, masalah finansial. Sejak
2009 anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBN. Akan tetapi, dana
sangat besar itu meliputi gaji pendidik, tunjangan profesi, biaya birokrasi,
dan anggaran pendidikan di 18 kementerian/lembaga lain. Kemdikbud mengelola
kurang dari 30 persen dari total anggaran pendidikan. Itu pun kerepotan
menyediakan program-program berkualitas.
Pendidikan kita menghadapi
hambatan yang sifatnya nonmaterial semata. Tahun fiskal 1974/1975 anggaran
pendidikan naik 12 kali; sebelumnya Rp 36,6 miliar jadi Rp 436 miliar. Namun,
kelimpahan uang itu sepertinya tak menyentuh substansi pendidikan sehingga kini
bermasalah. Kearifan membelanjakan uang dengan program yang berkualitas adalah
tantangan berat yang harus dijawab pemerintah.
Kelima, masalah kultural. Ivan
Illich dalam Deschooling Society-nya menggugat budaya sekolah yang melegitimasi
seseorang lewat ijazah. Di Indonesia, tradisi bersekolah untuk ijazah telah
berkembang jadi ”penyakit” diploma, yang melahirkan perilaku pseudo ilmiah
seperti plagiarisme. Membangun budaya akademik merupakan tugas pokok yang perlu
ditekuni agar persekolahan menjadi institusi pendidikan yang benar-benar
mencerdaskan.
Substansi pendidikan dapat
ditemukan dari tanggapan atas masalah di atas, lalu dijabarkan jadi pelajaran
yang bermakna secara ekonomis, politis, juga humanis.
Mohammad
Abduhzen ;
Direktur
Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang
PB PGRI
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi